Rabu, 21 Mei 2008

Pariwisata Jogja Dalam Bingkai Foto: Catatan diskusi tentang Foto Pariwisata Jogja 3 Mei 2008 Lt2 Gedung DKV ISI Yogyakarta

Banyak hal baru yang diungkap dan hal-hal lama yang dikupas kembali dalam diskusi tentang foto pariwisata pada 3 Mei 2008 ini. Diskusi yang mengundang pembicara Bapak Prayanto WH dan Mess 56 tersebut memang hanya sekedar berbagi pengalaman tentang memotret Jogja dan sekitarnya. Walau hanya berbagi pengalaman, namun banyak hal yang tak terduga yang ternyata menarik untuk diceritakan.
Pada pertemuan ini, Bapak Prayanto WH yang akrab dipanggil Pak Prayanto memulai pembicaraannya dengan menuturkan sebuah ironi, yakni banyak orang Jogja yang tidak mengenal daerahnya, namun banyak pendatang dari luar Jogja mengetahui lebih mendalam tempat ini dibandingkan penduduk asli. Beliau lalu menampilkan slide Power Point yang menyebutkan bahwa citra pariwisata sebuah tempat dapat dilihat dari sarana-prasarana, keamanan, dan kesiapan pemerintah juga masyarakatnya. Sebagus apapun foto pariwisata, jika ada salah satu dari tiga faktor tersebut tak terpenuhi, maka pengunjung akan malas datang. Menurutnya, satu-satunya wilayah (di Indonesia) yang siap untuk pariwisata adalah Bali. Di Bali, sekalipun terbata-bata, masyarakatnya dapat berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Beliau bercerita pula bahwa turis asing ternyata banyak yang suka blusukan. Mengapa? Karena mereka mencari hal-hal yang memorable.
Kepada para audiens, beliau memberikan satu contoh mudah menemukan hal yang memorable. Pasar tradisional merupakan hal tersebut. Pasar tradisional di satu tempat selalu berbeda suasananya dengan pasar tradisional di tempat lain. Beliau menyarankan agar memotret apapun yang dirasa menarik, indah maupun unik dimanapun.
Dalam slide lainnya, dijelaskan bagaimana foto pariwisata dipakai. Pertama adalah sebagai stok foto; kedua, fotografer dilibatkan sejak awal; ketiga, fotografer diminta memotret sebagian saja obyek wisata yang akan dipotret. Slide-slide berikutnya menampilkan leaflet pariwisata negara-negara lain, kemudian leaflet-leaflet di Indonesia. Ketika slide yang menampilkan leaflet Indonesia, beliau menunjukkan betapa tidak terkonsepnya leaflet pariwisata di Indonesia.
Setelah Pak Prayanto selesai berbagi pengalaman, kini giliran Mess 56. Proyek-proyek foto Mess 56 adalah pariwisata yang sudah ada. Banyak hal-hal mengejutkan yang diungkap Mess 56. Orang gila di jalan-jalan dalam kota Yogyakarta, foto-foto sebuah tempat sampah yang dipotret berulang kali selama satu tahun, dan hewan-hewan kecil yang tergilas kendaraan adalah obyek yang ditampilkan sebagai elemen ekstrim dalam pariwisata Jogja. Mess 56 menuturkan bahwa hal-hal tersebut merupakan salah satu elemen dekoratif yang tidak disadari siapapun.
Hal yang menarik dalam pembicaraan ini salah satunya adalah foto-foto milik Mess 56 yang menampilkan sebuah tempat sampah. Tempat sampah itu dipotret berulang-ulang selama satu tahun dalam satu sudut pandang, namun dalam saat yang berbeda-beda. Rangkaian foto tersebut menjadi sebuah cerita tentang sebuah tempat sampah umum, yang mengalami modifikasi pada saat-saat tertentu, siapa saja yang berinteraksi dengannya, hingga tempat sampah itu disingkirkan karena ada komplain dari warga yang merasa tidak nyaman dengan tempat sampah itu.
Ketika pihak Mess 56 mengutarakan tujuan mereka memotret ini, mereka mengatakan bahwa mereka bermaksud menampilkan Jogja yang kotor di samping keindahannya. Dari kesaksian Mess 56, wisatawan asing lebih senang membicarakan hal-hal kecil (dan kotor) ini dibandingkan membicarakan kemegahan bangunan-bangunan bersejarah ataupun kesenian-kesenian tradisional yang ada di Yogyakarta. Mess 56 dalam pembicaraan ini juga mengkritik pemda yang selalu mengulang-ulang apa yang telah diketahui, bukannya mencari sesuatu yang lain. Wisatawan mancanegara tak lagi membicarakan pariwisata Jogja yang “standar” karena hal ini sudah dikupas habis (dan berulang-ulang) di media.
Hal lain yang menarik adalah ketika Mess 56 ditanyai mengenai bagaimana interaksi Mess 56 terhadap orang-orang gila tersebut ketika memotret tersebut. Pihak Mess 56 bersaksi bahwa mereka tidak menemui masalah yang berarti ketika berinteraksi dengan mereka. Mess 56 menambahkan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang-orang gila tidak seseram yang dibayangkan orang-orang pada umumnya.
Dari pembicaraan 3 Mei 2008 tersebut, diperoleh beberapa hal baru maupun hal lama yang dikupas kembali. Penduduk pendatang lebih mengerti tempat yang didatanginya dibandingkan penduduk asli terhadap tempat asalnya. Penduduk dan pemerintah lokal harus mempersiapkan berbagai hal, material maupu non-material jika ingin mengangkat pariwisata di daerahnya. Apa yang dilakukan Mess 56 bukan sekedar menampilkan “pariwisata ekstrim Jogja,” namun juga melakukan kontrol sosial bagi siapapun warga Jogja yang melihat karya Mess 56 tersebut. Salah satu audiens, yakni Pak Zacky menambahkan pula,”Untuk melihat jogja, kita harus membuat jarak dengan Jogja.” Demikianlah, diskusi ini tidak mencari satu kesimpulan, namun untuk memperkaya wawasan para audiens terhadap fotografi pariwisata di Yogyakarta.

PASAR TRADISIONAL DENGAN JAJAN PASAR-NYA

Ini sekedar cerita pengalaman kuliner saya dengan pasar-pasar di Yogyakarta yang pernah saya kunjungi. Tidak semua pasar, namun saya menemukan sesuatu yang menarik di tiap-tiap pasar. Bukan hanya pasar Kotagede dengan kipo-nya yang tidak ditemui di tempat lain. Tiap-tiap pasar memiliki jajan pasar-nya sendiri yang kadang-kadang hanya ditemui di pasar itu saja dan ada pula yang memiliki jajan pasar yang sudah tidak ditemukan lagi di pasar-pasar lainnya.
Saya mulai saya dari pasar Godean. Di pasar ini, ditemui makanan-makanan ringan tradisional yang juga ditemui di pasar-pasar lainnya. Tidak ada yang menarik di sini sebelum saya menemukan bahwa di sini merupakan salah satu pusat penjualan belut goreng (dan belakangan ini keripik bayam). Di pasar ini, belut goreng dijual per 100 gram. Penjual belut goreng ini dapat ditemukan di bagian selatan pasar.
Berikutnya adalah pasar Beringharjo. Banyak orang mengetahui dan mengenal Beringharjo sebagai pasar tradisional yang sangat besar di jantung Kota Yogyakarta. Saya menemukan satu hal yang sangat mengejutkan di pasar ini. Walaupun pasar ini sangat besar, ternyata koleksi jajan pasar di sini sangat miskin! Tidak banyak variasi jajan pasar di tempat ini. Jadi, kurang tepat datang ke pasar ini jika ingin mencicipi bermacam-macam jajan pasar. Terlepas dari hal itu, pasar ini memiliki satu jajan pasar yang unik, yakni mie pentil yang berbentuk seperti karet pentil sepeda. Sayang sekali ketika terakhir kali saya datang ke tempat ini, saya tidak menemui penjual mie pentil tersebut.
Sebuah pasar besar yang lain, yakni Pasar Kranggan, yang terletak di sebelah Barat Tugu Yogyakarta memiliki koleksi jajan pasar yang sangat lengkap. Sebut saja, mulai dari arem-arem, kue lapis hingga jenang grendol yang sudah sangat langka ada di sini. Ada pula makanan yang bernama mento yang belum pernah saya temukan di pasar-pasar lain dan belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebenarnya mento ini adalah naga sari yang diganti isinya. Jika naga sari berisi pisang, maka mento berisi daging sapi.
Sekarang kita beralih ke Pasar Patuk, bukan sekedar berisi bakpia, namun juga dengan jajan pasar lain yang terkena pengaruh budaya Cina. Sebagian besar pedagang di sini merupakan keturunan Tionghoa, jadi tidak aneh jika terdapat jajan pasar yang unik di sini. Contoh pertama adalah mien king. Mien king, menurut penuturan penjualnya, makanan yang merupakan sari gandum ini merupakan makanan yang dirancang khusus bagi vegetarian. Biasanya disantap bersama sayur-sayuran dan tidak disarankan mien king disantap sendiri tanpa hidangan pendamping karena rasanya hambar. Bakcang (atau bacang? Entah bagaimana menulisnya yang benar karena telinga saya menangkap bunyi ba’cang dari penjualnya namun pernah melihat tulisan ‘bacang’ yang menunjuk makanan tersebut) tak lain adalah lemper babi. Selain daging babi yang menjadi isinya, yang membedakan bakcang dengan lemper biasa adalah bungkusnya yang merupakan daun bambu. Bagi yang tidak makan babi, tersedia pula bakcang versi ayam. Untuk jajan pasar ‘standar,’ di sini anda dapat menemukan jajan pasar dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan di pasar-pasar lain dan tentu saja lebih mahal. Misalnya, kue talam dengan gula sungguhan, bukan pemanis buatan; semacam kue basah (tak tahu namanya) dengan isi kacang lebih banyak dan kulit tebal dan lebih padat, bukan dengan kulit tebal tapi lembek dengan kacang seadanya sebagai wangi-wangi saja; Pastel dengan daging ayam sungguhan, bukan sayur-mayur dan daun bawang yang direndam dalam kaldu ayam instan; bakpau dengan isi kacang hijau (sungguhan) yang lebih besar dan merata, bukan roti kukus tawar dengan pewangi makanan dan spot kecil kacang hijau di dalamnya.

Tegar Andito