Minggu, 21 Desember 2008

Stok foto lama lagi nich...

Ok, ini stok foto lama, tapi baru sempat upload sekarang...


Gereja Katedral Jakarta




smendingan-DSC_8445
Jajan Pasar

s000050
Langit di Purworejo

Jumat, 14 November 2008

Lapar?

Makan dulu lah...

Kamis, 13 November 2008

Loebang Djaroem






To the point aja, ini gambar dibuat dengan kamera paling djadoel dan murah meriah di Indonesia, tanpa lensa apalagi Matrix metering dan sebagainya... hanya kaleng dengan lubang kecil yang jarum saja susah masuk (apalagi unta).

1. "Candi" Ganjuran
2. tugu Jogja
3. "Candi" Ganjuran (lagi)
4. Candi Kedulan

Jumat, 17 Oktober 2008

Hunting di Drini

To the point aja, inilah hasil hunting saya di pantai Drini tanggal 12 Oktober 2008 lalu... silahkan dinikmati.










Selasa, 14 Oktober 2008

Terimalah Dan Makanlah...

The Prambanan Express


Terus terang yang ini stok foto lama...

Rabu, 24 September 2008

Di Pantai Depok 21-09-2008








Terus terang saya ndak hafal data teknisnya...
Model: Icha (3 gambar)
Model: Mia(1 gambar)

Selasa, 26 Agustus 2008

Cemberut




Model: Tata
Film yang benar: Efinity UX100
ISO: 100
Exp.mode: Aperture priority
Diafragma: f/5,6
Focal lenght: 210mm
Shutter speed: A
Camera body: Nikon U
Lensa: Nikkor 70-210mm f/4-5,6D
Exposure compensation: +1 stop

Ini pas di hotel Santika hari Kamis 21 Agustus 2008 lalu. Kompensasi pencahayaan +1 Stop. Mohon kritik dan saran. Terima kasih.

Senin, 25 Agustus 2008

Laughing Thete



Model: Thete
Tempat: Benteng Vredeburg
Film: Digital ISO:100
Filter: N/A
Kompensasi pencahayaan: +0,3 stop
Tanggal pemotretan: 24 Augustus 2008
Kamera: BenQ DC E300
Lensa: Built in 9mm
Digital Zoom: 2x

Ok, yang ini saya olah digital untuk menghasilkan kesan sepia. Tools yang saya pakai di photoshop adalah levels, untuk koreksi kontras dan manipulasi warna; smart blur,
unsharp mask saya pakai untuk mengurangi noise, ketidaktajaman dan efek kotak-kotak akibat digital zoom. Semuanya full auto, data teknis saya ambil dari EXIF data pada file foto. Dipotret sebelum jam 11.oo WIB, namun waktu menunjukkan menjelang pukul 11.00 karena saya ingat ini sesi terakhir.

Minggu, 24 Agustus 2008

Berbaring



Model: Ira
Film: Efinity UX100 ISO: 100
Filter: UV
Tanggal pemotretan: 24 Augustus 2008
Kompensasi pencahayaan: +1 stop
Kamera: Nikon F65D/Nikon N65QD/Nikon U
Lensa: Nikkor 70-210mm f/4-5,6D

Saya memotret pada jarak 3 meter dari model, masih sama, eksposure mode pakai aperture priority. Diafragma kalau nggak salah f/6,7. Waktu pemotretan tidak ingat, tapi yang pasti sebelum 11.00 WIB

Thete in Red


Model: Thete
Tempat: Benteng Vredeburg
Film: Efinity UX100 ISO:100
Filter: UV
Kompensasi pencahayaan: +1 stop
Tanggal pemotretan: 24 Augustus 2008
Kamera: Nikon F65
Lensa: Nikkor 70-210mm f/4-5,6D

Saya memotret dari dalam terowongan, sementara model berpose di mulut terowongan. Waktu pemotretan saya tidak ingat, tapi yang jelas sebelum pukul 11.00 WIB. Kamera saya set ke aperture priority, dengan diafragma f/5,6.

Rabu, 06 Agustus 2008

Sunset in Sedayu

Sunset

Ini sunset di Sedayu. Diambil di dekat perlintasan kereta api di Gubug, Argosari, Sedayu, Bantul Yk. Stok foto saya di Webshots juga. Semoga berkenan.


Ini Loko E1060, eks Sumatera Barat, sekarang dinas di Ambarawa. Ini juga stok foto lama juga. Bisa dilihat juga di SINI

Sabtu, 02 Agustus 2008

Menuju Jogja

Sinyal Masuk

Praying



Lokasi: Goa Maria Tritis, Gunung Kidul.

Selasa, 22 Juli 2008

Parfum Calvin Klein



Yaa... ini cuman posting stok-stok foto lama. Ini saya buat pas kuliah mk.fotografi desain.

Selasa, 17 Juni 2008

Ingatan Saya Tentang Mainan

Banyak pengalaman yang saya lalui dengan mainan, sejak anak-anak bahkan sampai sekarang. Dahulu terasa sangat menyenangkan bermain mainan sepanjang hari – atau sampai mainan tersebut rusak. Bagi saya, sampai menjelang SMP, tiada hari tanpa mainan.
Ada beberapa macam mainan yang saya miliki, mulai dari mainan balita dari karet, hingga robot-robot transformers. Hampir semuanya mainan modern. Walaupun sama wujudnya dengan mainan yang beredar sekarang, namun nampaknya mainan-mainan yang pernah saya miliki dulu benar-benar berkualitas baik, dalam hal ini tidak mudah rusak. Dalam ingatan saya, mainan-mainan yang saya miliki baru rusak setelah sekan lama saya miliki, entah berapa lama, yang jelas lebih dari sekedar satu atau dua minggu. Bahkan ada kabar bahwa ada kerabat yang anak balita-nya menggunakan mainan yang katanya bekas milik saya setelah berpindah tangan beberapa kali.
Pada awalnya, pada saat masih balita, saya diberi mainan dari karet untuk balita berbagai macam bentuk, tapi tidak satupun berbentuk tokoh-tokoh animasi untuk anak-anak seperti sekarang. Mainan tersebut sedikit lebih padat dibandingkan dengan mainan karet jaman sekarang, namun jauh lebih kuat, dan tidak mudah robek. Kemudian orang tua membelikan mainan kereta api. Saya pernah memiliki mainan kereta api berbagai ukuran dan varian. Saya pernah memiliki pengalaman menarik dengan mainan kereta api ini. Ceritanya, mainan kereta api baru yang saya miliki, salah satu gerbongnya patah. Saya tidak senang dengan hal itu, maka orang tua saya berusaha menghibur dengan mainan kereta api saya yang sebelumnya. Suasana hati bukannya membaik, namun malah memburuk, karena mainan kereta api saya sebelumnya menggunakan rel yang berbeda dengan yang baru, sehingga tidak dapat dikombinasikan. Ketika TV pada saat itu menayangkan film animasi Yankuro, mainan beralih ke Tamiya. Saya saat itu mempunyai dua buah, namun salah satunya mempunyai keanehan, begitu dipasangi baterai dan dinyalakan, mesin menyala sebentar dan baterai langsung habis, padahal memakai alkaline baru. Pada masa SD, sedang musim transformers. Saya sempat mempunyai tiga robot transformers pada saat itu, namun sekarang entah ke mana.
Menjelang SMP, saya mulai merawat mainan saya terutama yang baru dan masih utuh. Mainan kereta api saya, setelah saya mainkan, saya masukkan lagi ke dalam box-nya. Mainan blok, bermerk Lasy selalu saya bongkar, dan saya hitung jumlah kompenen-kompenennya sebelum saya masukkan lagi ke dalam box. Saya sempat mengkoleksi mainan robot rakitan, saya simpan di dalam wadah khusus dan masih ada sampai sekarang.
Setelah SMP, mainan-mainan tersebut mulai jarang saya mainkan, dan akhirnya sebagian besar disimpan baik-baik di gudang.

Rabu, 21 Mei 2008

Pariwisata Jogja Dalam Bingkai Foto: Catatan diskusi tentang Foto Pariwisata Jogja 3 Mei 2008 Lt2 Gedung DKV ISI Yogyakarta

Banyak hal baru yang diungkap dan hal-hal lama yang dikupas kembali dalam diskusi tentang foto pariwisata pada 3 Mei 2008 ini. Diskusi yang mengundang pembicara Bapak Prayanto WH dan Mess 56 tersebut memang hanya sekedar berbagi pengalaman tentang memotret Jogja dan sekitarnya. Walau hanya berbagi pengalaman, namun banyak hal yang tak terduga yang ternyata menarik untuk diceritakan.
Pada pertemuan ini, Bapak Prayanto WH yang akrab dipanggil Pak Prayanto memulai pembicaraannya dengan menuturkan sebuah ironi, yakni banyak orang Jogja yang tidak mengenal daerahnya, namun banyak pendatang dari luar Jogja mengetahui lebih mendalam tempat ini dibandingkan penduduk asli. Beliau lalu menampilkan slide Power Point yang menyebutkan bahwa citra pariwisata sebuah tempat dapat dilihat dari sarana-prasarana, keamanan, dan kesiapan pemerintah juga masyarakatnya. Sebagus apapun foto pariwisata, jika ada salah satu dari tiga faktor tersebut tak terpenuhi, maka pengunjung akan malas datang. Menurutnya, satu-satunya wilayah (di Indonesia) yang siap untuk pariwisata adalah Bali. Di Bali, sekalipun terbata-bata, masyarakatnya dapat berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Beliau bercerita pula bahwa turis asing ternyata banyak yang suka blusukan. Mengapa? Karena mereka mencari hal-hal yang memorable.
Kepada para audiens, beliau memberikan satu contoh mudah menemukan hal yang memorable. Pasar tradisional merupakan hal tersebut. Pasar tradisional di satu tempat selalu berbeda suasananya dengan pasar tradisional di tempat lain. Beliau menyarankan agar memotret apapun yang dirasa menarik, indah maupun unik dimanapun.
Dalam slide lainnya, dijelaskan bagaimana foto pariwisata dipakai. Pertama adalah sebagai stok foto; kedua, fotografer dilibatkan sejak awal; ketiga, fotografer diminta memotret sebagian saja obyek wisata yang akan dipotret. Slide-slide berikutnya menampilkan leaflet pariwisata negara-negara lain, kemudian leaflet-leaflet di Indonesia. Ketika slide yang menampilkan leaflet Indonesia, beliau menunjukkan betapa tidak terkonsepnya leaflet pariwisata di Indonesia.
Setelah Pak Prayanto selesai berbagi pengalaman, kini giliran Mess 56. Proyek-proyek foto Mess 56 adalah pariwisata yang sudah ada. Banyak hal-hal mengejutkan yang diungkap Mess 56. Orang gila di jalan-jalan dalam kota Yogyakarta, foto-foto sebuah tempat sampah yang dipotret berulang kali selama satu tahun, dan hewan-hewan kecil yang tergilas kendaraan adalah obyek yang ditampilkan sebagai elemen ekstrim dalam pariwisata Jogja. Mess 56 menuturkan bahwa hal-hal tersebut merupakan salah satu elemen dekoratif yang tidak disadari siapapun.
Hal yang menarik dalam pembicaraan ini salah satunya adalah foto-foto milik Mess 56 yang menampilkan sebuah tempat sampah. Tempat sampah itu dipotret berulang-ulang selama satu tahun dalam satu sudut pandang, namun dalam saat yang berbeda-beda. Rangkaian foto tersebut menjadi sebuah cerita tentang sebuah tempat sampah umum, yang mengalami modifikasi pada saat-saat tertentu, siapa saja yang berinteraksi dengannya, hingga tempat sampah itu disingkirkan karena ada komplain dari warga yang merasa tidak nyaman dengan tempat sampah itu.
Ketika pihak Mess 56 mengutarakan tujuan mereka memotret ini, mereka mengatakan bahwa mereka bermaksud menampilkan Jogja yang kotor di samping keindahannya. Dari kesaksian Mess 56, wisatawan asing lebih senang membicarakan hal-hal kecil (dan kotor) ini dibandingkan membicarakan kemegahan bangunan-bangunan bersejarah ataupun kesenian-kesenian tradisional yang ada di Yogyakarta. Mess 56 dalam pembicaraan ini juga mengkritik pemda yang selalu mengulang-ulang apa yang telah diketahui, bukannya mencari sesuatu yang lain. Wisatawan mancanegara tak lagi membicarakan pariwisata Jogja yang “standar” karena hal ini sudah dikupas habis (dan berulang-ulang) di media.
Hal lain yang menarik adalah ketika Mess 56 ditanyai mengenai bagaimana interaksi Mess 56 terhadap orang-orang gila tersebut ketika memotret tersebut. Pihak Mess 56 bersaksi bahwa mereka tidak menemui masalah yang berarti ketika berinteraksi dengan mereka. Mess 56 menambahkan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang-orang gila tidak seseram yang dibayangkan orang-orang pada umumnya.
Dari pembicaraan 3 Mei 2008 tersebut, diperoleh beberapa hal baru maupun hal lama yang dikupas kembali. Penduduk pendatang lebih mengerti tempat yang didatanginya dibandingkan penduduk asli terhadap tempat asalnya. Penduduk dan pemerintah lokal harus mempersiapkan berbagai hal, material maupu non-material jika ingin mengangkat pariwisata di daerahnya. Apa yang dilakukan Mess 56 bukan sekedar menampilkan “pariwisata ekstrim Jogja,” namun juga melakukan kontrol sosial bagi siapapun warga Jogja yang melihat karya Mess 56 tersebut. Salah satu audiens, yakni Pak Zacky menambahkan pula,”Untuk melihat jogja, kita harus membuat jarak dengan Jogja.” Demikianlah, diskusi ini tidak mencari satu kesimpulan, namun untuk memperkaya wawasan para audiens terhadap fotografi pariwisata di Yogyakarta.

PASAR TRADISIONAL DENGAN JAJAN PASAR-NYA

Ini sekedar cerita pengalaman kuliner saya dengan pasar-pasar di Yogyakarta yang pernah saya kunjungi. Tidak semua pasar, namun saya menemukan sesuatu yang menarik di tiap-tiap pasar. Bukan hanya pasar Kotagede dengan kipo-nya yang tidak ditemui di tempat lain. Tiap-tiap pasar memiliki jajan pasar-nya sendiri yang kadang-kadang hanya ditemui di pasar itu saja dan ada pula yang memiliki jajan pasar yang sudah tidak ditemukan lagi di pasar-pasar lainnya.
Saya mulai saya dari pasar Godean. Di pasar ini, ditemui makanan-makanan ringan tradisional yang juga ditemui di pasar-pasar lainnya. Tidak ada yang menarik di sini sebelum saya menemukan bahwa di sini merupakan salah satu pusat penjualan belut goreng (dan belakangan ini keripik bayam). Di pasar ini, belut goreng dijual per 100 gram. Penjual belut goreng ini dapat ditemukan di bagian selatan pasar.
Berikutnya adalah pasar Beringharjo. Banyak orang mengetahui dan mengenal Beringharjo sebagai pasar tradisional yang sangat besar di jantung Kota Yogyakarta. Saya menemukan satu hal yang sangat mengejutkan di pasar ini. Walaupun pasar ini sangat besar, ternyata koleksi jajan pasar di sini sangat miskin! Tidak banyak variasi jajan pasar di tempat ini. Jadi, kurang tepat datang ke pasar ini jika ingin mencicipi bermacam-macam jajan pasar. Terlepas dari hal itu, pasar ini memiliki satu jajan pasar yang unik, yakni mie pentil yang berbentuk seperti karet pentil sepeda. Sayang sekali ketika terakhir kali saya datang ke tempat ini, saya tidak menemui penjual mie pentil tersebut.
Sebuah pasar besar yang lain, yakni Pasar Kranggan, yang terletak di sebelah Barat Tugu Yogyakarta memiliki koleksi jajan pasar yang sangat lengkap. Sebut saja, mulai dari arem-arem, kue lapis hingga jenang grendol yang sudah sangat langka ada di sini. Ada pula makanan yang bernama mento yang belum pernah saya temukan di pasar-pasar lain dan belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebenarnya mento ini adalah naga sari yang diganti isinya. Jika naga sari berisi pisang, maka mento berisi daging sapi.
Sekarang kita beralih ke Pasar Patuk, bukan sekedar berisi bakpia, namun juga dengan jajan pasar lain yang terkena pengaruh budaya Cina. Sebagian besar pedagang di sini merupakan keturunan Tionghoa, jadi tidak aneh jika terdapat jajan pasar yang unik di sini. Contoh pertama adalah mien king. Mien king, menurut penuturan penjualnya, makanan yang merupakan sari gandum ini merupakan makanan yang dirancang khusus bagi vegetarian. Biasanya disantap bersama sayur-sayuran dan tidak disarankan mien king disantap sendiri tanpa hidangan pendamping karena rasanya hambar. Bakcang (atau bacang? Entah bagaimana menulisnya yang benar karena telinga saya menangkap bunyi ba’cang dari penjualnya namun pernah melihat tulisan ‘bacang’ yang menunjuk makanan tersebut) tak lain adalah lemper babi. Selain daging babi yang menjadi isinya, yang membedakan bakcang dengan lemper biasa adalah bungkusnya yang merupakan daun bambu. Bagi yang tidak makan babi, tersedia pula bakcang versi ayam. Untuk jajan pasar ‘standar,’ di sini anda dapat menemukan jajan pasar dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan di pasar-pasar lain dan tentu saja lebih mahal. Misalnya, kue talam dengan gula sungguhan, bukan pemanis buatan; semacam kue basah (tak tahu namanya) dengan isi kacang lebih banyak dan kulit tebal dan lebih padat, bukan dengan kulit tebal tapi lembek dengan kacang seadanya sebagai wangi-wangi saja; Pastel dengan daging ayam sungguhan, bukan sayur-mayur dan daun bawang yang direndam dalam kaldu ayam instan; bakpau dengan isi kacang hijau (sungguhan) yang lebih besar dan merata, bukan roti kukus tawar dengan pewangi makanan dan spot kecil kacang hijau di dalamnya.

Tegar Andito

Senin, 24 Maret 2008



Ini bukan bangunan kuno ex Romawi di hutan-hutan Eropa. Ini adalah salah satu bagian dari selokan mataram di daerah Barat Daya Sleman yang dipotret dengan film yang sudah kadaluwasa dan kelamaan nyucinya.

Film: Ilford Pan 100. Kamera: Nikon F65D. Lensa: Sigma 28-105mm f/3.8-5.6. Filter: U.V. Data lainnya: Sayang sekali tidak ingat.

Rabu, 27 Februari 2008


ini gambar yang saya ambil di perlintasan kereta api di Gubug, Argosari, Sedayu. Saya ambil pada waktu petang hari. Olah digital hanya sebatas cropping, dan brightness-contrast.

Minggu, 10 Februari 2008

.